Oleh : Aria Dipura, SH., CPL., CPCLE., cLi
Di bulan Juni – Juli 2018, liga sepakbola Indonesia tengah memasuki paruh musim dimana klub-klub diperbolehkan untuk mendatangkan/melepas pemain-pemainnya (baca : transfer) demi kebutuhan tim dan meraih hasil maksimal di akhir klasemen. Dalam proses transfer demikian tidak sedikit klub-klub melepas beberapa pemainnya demi menyeimbangkan neraca keuangan. Namun, setelah si pemain dilepas, banyak juga klub yang tidak mampu untuk memenuhi hak-hak si pemain. Contoh konkret adalah Sriwijaya FC yang di paruh musim 2017/2018 terpaksa melakukan pemutusan kontrak ‘berjamaah’ terhadap beberapa pemainnya dan hingga tulisan ini dibuat, masih menunggak beberapa bulan gaji pemain-pemainnya.
Terhadap hal demikian, memang terdapat beberapa upaya yang dapat ditempuh si pemain terhadap wanprestasi klub tergantung kompetensi sebagaimana disebutkan dalam kontraknya, antara lain melalui:
- Melalui Pengadilan Negeri setempat;
- Melalui Badan Ajudikasi Sengketa Pemain (BASP) bentukan PSSI; atau
- Melalui Arbitrase
Namun demikian, terlepas dari upaya hukum yang dapat ditempuh si pemain di atas, kiranya terdapat suatu permasalahan yang menarik untuk dibahas, yakni mengenai hubungan hukum antara si pemain sepakbola dengan klub yang mengikatnya.
Dalam hal ini bagaimanakah hubungan hukum tersebut? apakah si pemain bola merupakan aset, ataukah tenaga kerja dari klub sepak bola?
Pemain Sepakbola Sebagai Aset Klub
Pemain sepakbola tentu menurut pendapat sebagian orang digolongkan sebagai aset dari klub yang mengikatnya. Alasannya, semakin tinggi nilai jual dari si pemain karena performanya, apalagi dapat mengantar klub menjadi juara liga, tentu semakin banyak keuntungan yang dapat diambil oleh klub, misalnya menaikkan nama besar klub yang berujung pada naiknya pendapatan lewat merchandise dan tiket pertandingan, mendatangkan sponsor, hak siar dan lain sebagainya. Klasifikasi pemain sepakbola sebagai aset klub ini juga diperkuat dengan fakta bahwa untuk mengikat pemain sepakbola yang berstatus tidak free transfer, klub peminat harus membayarkan aktivanya yang berbentuk sejumlah uang kepada klub pemilik si pemain sebelumnya.
Demikian krusialnya pemain sepakbola bagi klub untuk mendatangkan keuntungan finansial, sehingga menurut pendapat tersebut, sudah seharusnya neraca menyediakan akun yang menerangkan keberadaan pesepakbola sebagai aset. Namun demikian, yang menjadi permasalahan adalah bahwa pengakuan human capital sebagai aset ternyata masih menimbulkan perdebatan sampai saat ini.
Sebagaimana yang dilansir oleh artikel di detik.com, Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) di Indonesia mulai berkiblat pada penerapan International Financial Accounting Standards (IFRS). IFRS sebagai standar akuntansi yang dikelarkan oleh International Accounting Standard Board memang memberikan perhatian terhadap pengakuan human capital sebagai aset.
Namun demikian, berdasarkan hasil diskusi dengan teman-teman auditor, masih terdapat perbedaan pendapat tentang human capital untuk menjadi bagian dari aset perusahaan yang dapat dilaporkan di neraca.
Dari tinjauan yuridis, pernyataan pemain sepakbola sebagai aset perusahaan ini menimbulkan perdebatan dan bertentangan dengan pendapat di atas, alasannya adalah sebagai berikut:
- Pertama, hal ini tidak lain karena si pemain bertindak sebagai subyek hukum yang menandatangani kontrak dengan klub. Dalam hal ini bagaimana bisa suatu subyek hukum dapat digolongkan sekaligus sebagai aset yang notabene merupakan obyek perusahaan ? Ingat, Pasal 1338 KUHPerdata menyatakan bahwa perjanjian mengikat layaknya undang-undang bagi yang membuatnya. Dengan demikian, mengikatnya perjanjian bagi subyek hukum yang menandatanganinya menyebabkan keduanya mempunyai hubungan hukum yang setara dan harus menjalankan prestasinya masing-masing dengan itikad baik.
- Kedua, pemain bola menerima sejumlah uang dari klub sehingga memenuhi unsur “upah” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 30 Undang-Undang No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UUTK”) yang menyatakan:
Upah adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan.
Lebih lanjut, Pasal 1 angka 3 jo. Pasal 1 angka 15 telah mendefinisikan pekerja dan hubungan kerja, sebagai berikut:
Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.
Hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah
Merujuk pada ketentuan di atas serta dikaitkan dengan permasalahan tulisan ini, menurut hemat penulis menunjukan bahwa karakteristik pemain sepakbola secara yuridis ternyata lebih memenuhi unsur sebagai pekerja sesuai dengan ketentuan UUTK dibandingkan sebagai aset perusahaan karena adanya unsur “pekerjaan”, “upah” dan “perintah” dari klub yang mengikatnya. Namun demikian, penulis mengakui bahwa apabila merujuk pada prinsip-prinsip akuntansi, penerapan tersebut berpotensi menjadi permasalahan di neraca pembukuan klub apabila pemain bola dibukukan sebagai tenaga kerja alih-alih sebagai aset.
Pemain Sepakbola Sebagai Tenaga Kerja Klub
Sekalipun karakteristik pemain sepakbola yang diikat oleh klub memenuhi unsur “pekerjaan”, “upah” dan “perintah”, namun tidak sesederhana itu. UUTK pada prinsipnya membedakan karakteristik pekerja menjadi (vide Pasal 56):
- Pekerja Kontrak / waktu tertentu yang didasarkan pada PKWT; dan
- Pekerja Tetap yang didasarkan pada PKWTT.
Merujuk pada fakta bahwa kontrak pemain sepakbola dibuat untuk jangka waktu tertentu (per-musim misalnya), quadnon apabila pemain sepakbola digolongkan sebagai pekerja, maka status yang melekat pada dirinya secara karakteristik adalah Pekerja Kontrak yang didasarkan pada PKWT.
Namun demikian, Pasal 59 ayat (1) UUTK jo. Pasal 3 Kepmenakertrans No. Kep 100/Men/VI/2004 (“Kepmen 100/2004”) membatasi jenis-jenis pekerjaan yang boleh dijadikan PKWT:
- pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya;
- pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan paling lama 3 (tiga) tahun;
- pekerjaan yang bersifat musiman; atau
- pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan.
Apabila dikaitkan dengan permasalahan tulisan ini, fakta bahwa pemain sepakbola selalu diikat oleh kontrak untuk jangka waktu tertentu dan mengingat pekerjaan pemain sepakbola yang melakukan pekerjaan yang terus-menerus jelas tidak memenuhi ketentuan Pasal 59 ayat (1) UUTK jo. Pasal 3 Kepmen 100/2004 di atas.
Terkait hal tersebut, pekerjaan yang dilakukan oleh pemain sepakbola menurut hemat penulis merupakan pekerjaan yang bersifat tetap, pekerjaan inti dari bisnis perusahaan serta dilangsungkan secara terus menerus. Pasal 59 ayat (2) UUTK dalam hal ini telah melarang untuk diikat dengan PKWT.
Kesimpulan
Hubungan hukum pemain sepakbola dengan klub yang mengikatnya ditinjau dari aspek akuntansi dan yuridis menarik dibahas karena mempunyai prinsip yang berbeda. Dalam aspek akuntansi, sekalipun masih terdapat pendapat yang terbelah, namun pemain sepakbola dapat digolongkan sebagai aset. Sementara itu, menurut kajian yuridis, status pemain sepakbola lebih memenuhi klasifikasi sebagai tenaga kerja karena memenuhi unsur “perintah”, “upah” dan “pekerjaan”. Namun demikian, fakta bahwa kontrak pemain sepakbola untuk jangka waktu tertentu serta janis pekerjaannya yang terus menerus menyebabkan jenis pekerjaan dari pemain sepakbola pun tidak bisa digolongkan sebagai pekerjaan yang bisa diikat dengan PKWT.
@2018 Yulwansyah & Partners. All rights reserved
Kantor Hukum Yulwansyah & Partners didukung oleh advokat-advokat yang berpengalaman untuk mendampingi dan mewakili klien, baik buruh/pekerja. perusahaan nasional maupun multinasional dalam permasalahan hubungan industrial pada tahap bipartit, tripartit maupun di Pengadilan Hubungan Industrial (PHI). Kami juga dapat membantu anda dalam menyusun dokumen-dokumen hubungan industrial seperti perjanjian kerja, peraturan perusahaan, SOP/kode etik dan lain sebagainya.