Oleh      :               Aria Dipura, SH., CPL., CPCLE., CLi

Aria Dipura

Dalam suatu tahap proses penyelesaian sengketa perdata, baik melalui pengadilan negeri ataupun arbitrase, para pihak berperkara (baik penggugat ataupun tergugat) seringkali memanggil ahli untuk memberikan keterangan sesuai kompetensinya yang fungsinya adalah untuk meneguhkan dalil salah satu pihak tersebut dalam persidangan. Biasanya, keterangan ini diberikan secara lisan, walau tidak jarang pula ditemui berbentuk affidavit (keterangan tertulis).

Pada prakteknya, walaupun memegang peranan penting dalam perkara, seringkali keterangan yang diberikan ahli dari salah satu pihak ini pada akhirnya diabaikan oleh Majelis Hakim/Majelis Arbitrase dalam pertimbangan hukum putusannya dan yang bersangkutan lebih menerima dalil/argumentasi dari pihak counterpart sehingga hal tersebut mempengaruhi hasil persidangan dan berujung pada gugatan/permohonan diterima atau ditolak. Pihak yang kalah kemudian tidak terima dan mengajukan upaya hukum banding atau pembatalan putusan arbitrase dengan menggunakan alasan “diabaikannya keterangan ahli” sebagai pembenaran dalilnya. Contoh hal ini dapat terlihat pada perkara permohonan pembatalan putusan arbitrase di Pengadilan Negeri Semarang sebagaimana teregister pada perkara No. 1/Pdt.Arb/2018/PN.Smg.

Dalam hal ini, permasalahan yang ditarik adalah sebagai berikut:

Bagaimana kedudukan keterangan ahli dalam perkara perdata dan arbitrase? Apakah keterangan ahli dapat dijadikan alasan bagi pihak yang kalah untuk mengajukan banding atau pembatalan putusan arbitrase?

Kualifikasi Alat Bukti pada Keterangan Ahli

Berbeda dengan perkara pidana, apabila meneliti Pasal 164 HIR/Pasal 284 RBg/Pasal 1866 KUH Perdata yang kesemuanya mengatur tentang jenis alat bukti pada peradilan perdata, yakni alat bukti, pertama surat/tulisan, saksi, persangkaan, pengakuan dan sumpah, tidak satupun dicantumkan bahwa keterangan yang diberikan ahli dikualifikasikan sebagai alat bukti.

Dengan demikian, berangkat dari premis tersebut dapat disimpulkan bahwa secara formil, keterangan yang diberikan seorang ahli sejatinya berada di luar alat bukti, sehingga menurut hukum pembuktian perdata, keterangan tersebut sejatinya tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian.

Selanjutnya, perlu dicermati bahwa ketentuan Pasal 154 ayat (2) HIR dan Pasal 229 Rv telah menyatakan sebagai berikut:

  • Hakim atau Pengadilan Negeri tidak wajib mengikuti pendapat ahli, jika pendapat tersebut berlawanan dengan keyakinannya,
  • Kalau begitu sebaliknya, hakim dapat mengikuti pendapat ahli, apabila pendapat ahli tersebut berlawanan dengan keyakinannya.

Dari acuan di atas, kiranya undang-undang memberikan kebebasan kepada hakim untuk mengikuti atau tidak mengikuti pendapat ahli, dimana:

Kalau hakim mengikuti, dia mengambil alih pendapat tersebut menjadi pendapatnya sendiri dan dijadikan sebagai alat pertimbangan dalam putusan,

Sebaliknya, apabila tidak mengikuti, pendapat itu disingkirkan dan dianggap tidak ada.

 

Dalil tersebut diperkuat dengan Yurisprudensi Putusan MA-RI No.213.K/Sip/1955, tanggal 10 April 1957, yang menyatakan:

Bagi Hakim Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi tidak ada keharusan untuk mendengar seorang Saksi Ahli berdasarkan Ps. 138 ayat (1) jo. Ps. 164 HIR;

Penglihatan Hakim di sidang tentang adanya perbedaan antara dua buah tangan- tangan dapat dipakai oleh Hakim sebagai pengetahuannya sendiri dalam usaha pembuktian;

Serta pendapat Yahya Harahap, SH dalam bukunya “Hukum Acara Perdata : tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan” terbitan Sinar Grafika  halaman 795 yang menyatakan sebagai berikut:

Meskipun undang-undang memberi kebebasan kepada hakim untuk mengikuti pendapat ahli, dari segi hukum pembuktian, pendapat ahli:

(1) Tidak dapat berdiri sendiri sebagai alat bukti; (2) Tempat dan kedudukannya, hanya berfungsi menambah atau memperkuat atau memperjelas permasalahan perkara. Itulah fungsi pendapat ahli, bukan alat bukti! Oleh karena itu pada dirinya tidak pernah terpenuhi batas minimal pembuktian. Apabila sama sekali tidak ada alat bukti yang sah memenuhi syarat formil dan materil, dan yang ada hanya pendapat ahli, tidak dapat dibenarkan mempergunakannya sebagai alat bukti tunggal, meskipun hakim meyakini kebenaran itu.

Di dalam proses arbitrase pun demikian. Pasal 50 ayat (1) Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (“UUAAPS”) jo. Pasal 24 ayat (4) Peraturan Prosedur BANI menyatakan bahwa Majelis Arbitrase tidak mempunyai kewajiban untuk mendengarkan pendapat/keterangan ahli.

Pasal 50 (1) UUAAPS

Arbiter atau majelis arbitrase dapat meminta bantuan seorang atau lebih saksi ahli untuk memberikan keterangan tertulis mengenai suatu persoalan khusus yang berhubungan dengan pokok sengketa.

Pasal 24 (4) Peraturan Prosedur BANI

Apabila Majelis Arbitrase atau Arbiter Tunggal menganggap perlu dan/atau atas permintaan masing-masing pihak, saksi dan/atau ahli dapat dipanggil. Sebelum persidangan mendengar keterangan saksi dan/atau ahli, Majelis Arbitrase dapat meminta para pihak untuk memberitahukan identitas para saksi dan/atau ahli yang akan diajukannya termasuk informasi mengenai kesaksian atau keterangan ahli apa yang akan disampaikannya secara tertulis.

Majelis Arbitrase atau Arbiter Tunggal dapat menentukan, atas pertimbangannya sendiri atau atas permintaan masing-masing pihak, apakah perlu mendengar keterangan saksi dan/atau keterangan ahli tersebut dalam persidangan.

Kesimpulan

Berdasarkan penjelasan di atas dimana keterangan yang diberikan oleh seorang ahli secara formil bukanlah merupakan alat bukti, maka secara jelas dan nyata dapat disimpulkan bahwa keterangan-keterangan yang diberikan seorang ahli jelas bukan merupakan alat bukti, melainkan hanya semata-mata untuk menambah nilai kekuatan pembuktian yang ada sehingga tidak bisa menentukan isi dari putusan pengadilan perdata atau arbitrase, karena tanpa adanya pendapat/keterangan ahli tersebut pun Majelis Hakim atau Majelis Arbitrase tetap dapat memberikan pertimbangan dan mengambil keputusan atas permasalahan yang ada.

Adapun apabila Majelis Hakim atau Majelis Arbitrase mengikuti pendapat/keterangan ahli tersebut, tidak lain dan tidak bukan karena yng bersangkutan menganggap pendapat yang diberikan ahli tersebut sejalan dengan keyakinannya.

@2018 Yulwansyah & Partners. All rights reserved


Kantor Hukum Yulwansyah & Partners telah berpengalaman untuk mendampingi dan mewakili klien beracara melalui forum arbitrase dalam sengketa berbagai bidang seperti kontruksi, pengadaan, jaminan, sewa guna usaha,serta perkara komersial lainnya. Selain itu, kami juga telah mewakili Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) dalam berbagai perkara di pengadilan negeri, seperti perkara-perkara pembatalan putusan arbitrase, tuntutan ingkar, perbuatan melawan hukum kepada arbiter dan lain sebagainya.

Add Comment

WhatsApp WhatsApp us