Oleh : Aria Dipura, SH., CPL., CPCLE., CLi
Dalam dunia bisnis, setiap perusahaan dituntut untuk mampu menjaga kestabilan dan kesehatan finansialnya agar dapat survive dalam menghadapi persaingan global yang semakin keras dan menjalankan kegiatan bisnisnya secara berkesinambungan. Namun demikian, pada praktiknya tidak semua perusahaan mampu melakukannya sehingga berujung kepada ketidakmampuan perusahaan tersebut untuk menjalankan bisnisnya lagi dan terpaksa melakukan suatu aksi korporasi dalam bentuk pemberesan perseroan melalui proses likuidasi atau kepailitan.
Likuidasi secara harfiah adalah tindakan pemberesan terhadap harta kekayaan debitor yaitu berupa aset atau (aktiva) dan kewajiban-kewajiban (pasiva) suatu perusahaan sebagai tindak lanjut dari dibubarkannya perusahaan tersebut. Prosedur likuidasi ini di dalam peraturan perundang-undangan Indonesia dapat ditemui pada Pasal 147 s.d Pasal 152 Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
Sedangkan kepailitan berarti sita umum atas semua kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
Tindakan likuidasi pada umumnya dilakukan karena faktor-faktor sebagai berikut, yakni :
- dikehendaki secara sengaja (voluntir) oleh Pengurus dan atau Pemiliknya berdasarkan kepada Rapat Umum Para Pemegang Saham (RUPS) ;
- jangka waktu berdirinya perusahaan sesuai AD/ARTnya telah berakhir ;
- berdasarkan suatu putusan pengadilan atas permintaan pihak-pihak terkait ;
- adanya pencabutan kepailitan berdasarkan atas putusan Pengadilan Niaga yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap, harta pailit pihak debitor ternyata tidak cukup untuk membayar biaya kepailitan ;
- keadaan insolvensi terhadap harta pailit, dimana debitor demi hukum dinyatakan tidak mempunyai kemampuan lagi atau gagal bayar terhadap seluruh kewajiban kepada para kreditor, sebagaimana diatur dalam ketentuan Undang-undang tentang Kepailitan dan PKPU ; atau
- karena dicabutnya izin usaha perusahaan tersebut.
Sedangkan kepailitan terjadi karena adanya permohonan dari 2 (dua) kreditur atau lebih kepada Pengadilan Niaga berdasarkan adanya utang sederhana yang telah jatuh tempo dan sudah dapat ditagih.
Pertanyaan yang seringkali diberikan oleh orang awam terkait kedua mekanisme pemberesan harta perseroan di atas adalah, manakah yang lebih menguntungkan untuk ditempuh, apakah melalui likuidasi atau melalui kepailitan?
Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, perlu dipahami bahwa likuidasi dilakukan dalam rangka pembubaran badan hukum. Sedangkan kepailitan, tidak dilakukan dalam rangka pembubaran badan hukum, dan tidak berakibat pada bubarnya badan hukum yang dipailitkan tersebut.
Menurut hemat penulis, dari kacamata perseroan, pemberesan aset perseroan melalui mekanisme likuidasi mempunyai sejumlah keuntungan, antara lain sebagai berikut :
- Likuidasi merupakan keputusan internal dari perseroan, yang pada umumnya menginginkan pembubaran perseroan. Dengan demikian, proses likuidasi ini murni bukan paksaan dari pihak di luar perseroan. Hal ini berbeda dengan kepailitan dimana prosesnya “dipaksa” oleh pihak eksternal melalui permohonan pailit.
- Likuidator diangkat dan diberhentikan oleh RUPS. Hal ini berarti segala tindakan Likuidator dalam rangka pemberesan asset perseroan dapat dikontrol oleh RUPS, yang mana menjadi keuntungan terutama pada aset-aset perseroan yang strategis. Hal ini tentu berbeda dengan proses kepailitan dimana Kurator bertanggung jawab kepada Hakim Pengawas yang notabene bukan merupakan pihak yang mengelola perseroan.
- Biaya likuidasi umumnya lebih ekonomis dibandingkan dengan proses kepailitan yang memakan banyak biaya, termasuk fee kurator yang tidak sedikit. Berbeda dengan kepailitan, fee likuidator dalam rangka likuidasi ini umumnya disepakati sebelum penunjukan melalui RUPS sehingga dapat diestimasi sebelumnya.
- Proses kepailitan pada umumnya memberikan kerugian bagi direktur, komisaris serta pemegang saham perseroan karena akan memberikan “catatan hitam” sehingga akan berdampak kepada perkembangan bisnis ke depannya dimana yang bersangkutan diharuskan menandatangani pernyataan “bebas pailit”.
- Dan lain sebagainya.
@2019 Yulwansyah & Partners. All rights reserved
Kantor Hukum Yulwansyah & Partners didukung oleh advokat-advokat yang mempunyai sertifikasi likuidator dan telah berpengalaman untuk mendampingi dan mewakili klien dalam proses kepailitan dan likuidasi. Selain itu, kami juga berpengalaman dalam mendampingi/mewakili klien dalam perkara-perkara perdata yang berkenaan dengan kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang di Pengadilan Niaga..