Oleh : Aria Dipura, SH., CPL., CPCLE., CLi

Aria Dipura

Menilik pada tingginya angka sengketa atas pelaksanaan kontrak pengadaan barang/jasa antara pemerintah dan penyedia jasa yang berujung pada penyelesaian lewat lembaga penyelesaian sengketa, baik melalui pengadilan negeri maupun arbitrase membuat pemerintah melalui Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (“LKPP”) pada tanggal 8 Juni 2018 menerbitkan Peraturan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah No. 18 Tahun 2018 tentang Layanan Penyelesaian Sengketa Kontrak Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (“Perka LKPP 18/2018”) sebagai revisi dari .Peraturan Kepala
Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah No. 4 Tahun 2016. Peraturan ini  merupakan peraturan pelaksana dari Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (“UUAAPS”).jo. Peraturan Presiden No. 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (“Perpres PBJ”) yang pada intinya mengatur mengenai pembentukan suatu badan alternatif penyelesaian sengketa yang berkaitan dengan pelaksanaan kontrak pengadaan barang/jasa pemerintah (“LPSKBJ”).

Dengan meneliti ketentuan-ketentuan Perka LKPP 18/2018 tersebut, dapat diketahui bahwa layanan penyelesaian sengketa yang dapat ditempuh melalui LPSKBJ adalah mediasi, konsiliasi dan arbitrase (vide Pasal 3 ayat (1)). Hal ini mempunyai kesamaan dengan apa yang diatur di dalam UUAAPS.

Tujuan dibentuknya LPSKBJ tersebut adalah tiada lain untuk meningkatkan pelayanan penyelesaian sengketa kontrak pengadaan barang/jasa sehingga diharapkan prosesnya akan lebih mudah, cepat dan tepat (huruf c bagian menimbang), sehingga untuk menyelesaikan suatu sengketa pengadaan barang dan jasa tidak perlu menempuh jalur pengadilan yang akan memakan waktu berbulan-bulan atau kepada lembaga arbitrase konvensional yang menetapkan biaya perkara tinggi. Namun demikian, apabila menganalisa isi dari Perka LKPP 18/2018 tersebut, penulis mendapati sejumlah temuan yang kiranya dapat menjadi kritik dan masukan atas Perka LKPP tersebut, sebagai berikut:

  • Apabila memperhatikan isi dari Perka LKPP 18/2018 dapat diketahui bahwa peraturan tersebut mengatur mengenai tata cara pelaksanaan penyelesaian sengketa lewat mediasi, konsiliasi dan arbitrase yang mana ketiga hal tersebut sejatinya telah diatur secara komprehensif dalam UUAAPS sehingga penulis mempertanyakan mengapa LKPP menerbitkan suatu peraturan yang identik dengan UUAAPS.

 

  • Berdasarkan pengalaman beracara penulis, sebagian besar sengketa kontrak pengadaan barang/jasa telah memilih lembaga arbitrase konvensional sebagai forum untuk menyelesaikan sengketa kontrak tersebut. Dalam hal ini, menurut hemat penulis, masing-masing lembaga arbitrase tersebut (mis. BANI, BASYARNAS, BAKTI, dll) mempunyai suatu peraturan prosedur yang cukup detail dan komprehensif untuk mengatur tata cara penyelesaian sengketa dan putusannya bersifat final, mengikat serta dapat segera dieksekusi. Dengan demikian, sekali lagi penulis mempertanyakan mengapa LKPP menerbitkan suatu peraturan untuk membentuk lembaga penyelesaian sengketa lagi sementara lembaga arbitrase konvensional yang telah ada dapat menjawab kebutuhan tersebut?

 

  • Pasal 6 Perka LKPP 18/2018 menyebutkan bahwa LPSKBJ diselenggarakan oleh LKPP cq Kedeputian Bidang Hukum dan Penyelesaian Sanggah. Memperhatikan hal tersebut, dengan mudah dapat disimpulkan bahwa LPSKBJ ini dibentuk oleh lembaga pemerintah. Dengan demikian, mengingat pihak yang berperkara atas sengketa kontrak pengadaan barang/jasa adalah pemerintah melalui Kementerian/Lembaga/Daerah maka menurut hemat penulis akan sangat sulit untuk menilai bahwa LPSKBJ akan bertindak imparsial/tidak memihak/menjunjung asas audi et alteram partem terhadap para pihak yang berperkara mengingat obyek sengketa adalah berkenaan dengan kekayaan negara (lihat Pasal 2 ayat (1) Perka LKPP 18/2018). Dalam hal ini, menurut hemat penulis, suatu lembaga penyelesaian sengketa hendaknya dibentuk secara independen dan terbebas dari campur tangan pihak manapun.

Pasal 6 Perka LKPP 18/2018

Layanan Penyelesaian Sengketa Kontrak Pengadaan diselenggarakan oleh LKPP cq Kedeputian Bidang Hukum dan Penyelesaian Sanggah.

  • Pasal 42 ayat (13) Perka LKPP 18/2018 menyebutkan bahwa dalam hal para pihak tidak melaksanakan putusan arbitrase secara sukarela, salah satu pihak dapat mengajukan gugatan baru ke pengadilan negeri. Hal ini jelas aneh dan bertentangan dengan esensi dari penyelesaian lewat arbitrase yang sifat putusannya final dan mengikat (lihat Pasal 60 UUAAPS), terlebih lagi Adanya suatu perjanjian arbitrase tertulis meniadakan hak para pihak untuk mengajukan penyelesaian sengketa atau beda pendapat yang termuat dalam perjanjiannya ke Pengadilan Negeri (lihat Pasal 11 ayat (2) UUAAPS). Jadi, dengan adanya Pasal 42 ayat (13) Perka LKPP 18/2018 di atas seakan dapat disimpulkan bahwa LPSKBJ sejatinya merupakan lembaga penyelesaian hukum sebelum para pihak membawa sengketa ke pengadilan negeri. Selain itu, ketentuan Pasal 42 ayat (13) tersebut juga bertentangan dengan spirit dibentuknya LPSKBJ ini sebagaimana dinyatakan dalam  huruf c bagian menimbang dari Perka LKPP 18/2018 tersebut, yakni mewujudkan pelayanan penyelesaian sengketa Kontrak Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang lebih mudah, cepat, dan tepat.

“Pasal 42 ayat (13) Perka LKPP 18/2018

Dalam hal Para Pihak tidak melaksanakan Putusan secara sukarela, salah satu pihak dapat mengajukan gugatan baru ke Ketua Pengadilan Negeri setempat atau dapat pula kemudian Para Pihak bersepakat untuk
menuangkan isi Putusan tersebut dalam suatu Akta Perdamaian dan dimintakan pelaksanaan putusannya melalui prosedur yang berlaku di Pengadilan.

Pasal 60 UUAAPS

Putusan arbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak.

Kesimpulan

Dibentuknya forum penyelesaian sengketa LPSKBJ oleh Perka LKPP 18/2018 ini merupakan suatu tanda tanya karena sejatinya lembaga arbitrase konvensional yang telah ada dapat menjawab kebutuhan penyelesaian sengketa kontrak tersebut. Lagipula, beberapa pasal dari Perka LKPP 18/2018 juga bertentangan dengan esensi penyelesaian sengketa lewat mediasi, konsiliasi dan arbitrase itu sendiri. Tentunya ini harus menjadi catatan pemerintah dan penulis berharap LKPP akan melakukan penyesuaian atas Perka tersebut sehingga sejalan dengan esensi dalam UUAAPS.

@2018 Yulwansyah & Partners. All rights reserved


Kantor Hukum Yulwansyah & Partners telah berpengalaman untuk mendampingi dan mewakili klien beracara melalui forum arbitrase dalam sengketa berbagai bidang seperti kontruksi, pengadaan, jaminan, sewa guna usaha serta perkara komersial lainnya. Selain itu, kami juga telah mewakili Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) dalam berbagai perkara di pengadilan negeri, seperti perkara-perkara pembatalan putusan arbitrase, tuntutan ingkar, perbuatan melawan hukum kepada arbiter dan lain sebagainya.

Add Comment

WhatsApp WhatsApp us