Oleh : Aria Dipura, SH., CPL., CPCLE., CLi
Pendahuluan
Dalam praktek pengadaan barang dan jasa pemerintah, seringkali dijumpai adanya pemberian tanda bintang *) yang diberikan oleh DPR/DPRD terhadap mata anggaran dari kegiatan dan jenis belanja masing-masing kementerian/lembaga/daerah. Adanya pemberian tanda bintang *) ini mengandung arti bahwa anggarannya tak boleh dicairkan sampai masalah yang menimbulkan tanda bintang itu diselesaikan. Anggaran tidak bisa dicairkan menyebabkan tidak ada dana untuk membayar prestasi kerja dari penyedia yang sudah terlanjur ditunjuk sebagai pemenang sehingga proyek pun menjadi terkatung-katung.
Contoh nyatahal ini dapat ditemukan pada pemberian tanda bintang *) terhadap mata anggaran Kominfo pada tahun 2015 oleh DPR sehingga Kementerian Keuangan mengeluarkan Surat No. S-11/MK.2/2015 tanggal 26 Januari 2015 yang kemudian menjadi rujukan bagi Kominfo untuk menolak permohonan perpanjangan anggaran kontrak tahun jamak penyediaan program internet KPU/USO yang dilakukan oleh BP3TI dan menghentikan seluruh layanan yang diberikan oleh penyedia. Contoh lain adalah Banggar DPRD Kota Blitar pada tahun 2017 lalu memberikan tanda bintang *) untuk anggaran pembangunan gedung SMPN 3 di RAPBD sehingga anggaran tersebut harus dievaluasi ulang.
Tindakan DPR/DPRD di atas menurut hemat penulis jelas memberikan ketidakpastian hukum, terutama bagi penyedia yang terikat pada kontrak tahun jamak. Sebagaimana diketahui, kontrak tahun jamak menurut Pasal 27 ayat 9 Peraturan Presiden No. 18 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (“Perpres 16/2018”) berarti kontrak yang membebani lebih dari 1 (satu) Tahun Anggaran, biasanya kontrak tahun jamak ini melekat pada pekerjaan konstruksi yang nilainya cukup signifikan. Penandatanganan kontrak tahun jamak ini dilakukan setelah mendapatkan persetujuan pejabat yang berwenang. Kontrak tahun jamak itu sendiri menurut Perpres 16/2018 terdiri dari 2 (dua) jenis, yakni
- pekerjaan yang penyelesaiannya lebih dari 12 (dua belas) bulan atau lebih dari 1 (satu) Tahun Anggaran; atau
- pekerjaan yang memberikan manfaat lebih apabila dikontrakkan untuk jangka waktu lebih dari 1 (satu) Tahun Anggaran dan paling lama 3 (tiga) Tahun Anggaran.
(pembahasan Penulis terhadap kontrak tahun jamak dan permasalahan hukumnya telah diberikan pada artikel sebelumnya. Klik di sini)
Dengan adanya pemberian tanda bintang *) oleh DPR/DPRD menyebabkan PPK menghentikan layanan yang diberikan Penyedia atau mengakhiri Perjanjian. Hal ini jelas umumnya menjadi buah simalakama bagi Penyedia karena yang bersangkutan tentu telah melakukan investasi yang tidak sedikit untuk pekerjaan yang diberi tanda bintang *) tersebut. Belum lagi si Penyedia terikat pada vendor, subkontraktor, investor atau pihak lain sehingga dengan dihentikannya layanan/diakhir perjanjian oleh PPK, maka si Penyedia juga berpotensi untuk digugat wanprestasi oleh pihak-pihak tersebut. Semua hal ini tentu akan berakibat pada biaya yang tidak sedikit.
Putusan Mahkamah Konstitusi yang Memangkas Wewenang Banggar DPR
Sebenarnya, Mahkamah Konstitusi (“MK”) telah mengeluarkan putusan yang memangkas wewenang Banggar DPR melalui Putusan No. 35/PUU-XI/2013 tertanggal 28 Januari 2014 yang menghapus frasa “kegiatan, dan jenis belanja” dalam Pasal 15 ayat (5) Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (“UU Keuangan Negara”); “dan kegiatan” dalam Pasal 107 ayat (1) huruf c Undang-Undang No. 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPRD dan DPD (“UU MD3”); “antarkegiatan dan antarjenis belanja” dalam Pasal 156 huruf c angka 2 huruf (c) UU MD3; “dan kegiatan” dalam Pasal 157 ayat (1) huruf c UU MD3; “kegiatan, dan jenis belanja” dalam Pasal 159 ayat (5) UU MD3
MK pun memberi tafsir konstitusional terhadap Pasal 71 huruf g UU MD3 yang dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang dimaknai “masih ada lagi proses pembahasan setelah RUU APBN diundangkan menjadi UU APBN. Selain itu, Pasal 156 huruf a UU MD3 dinyatakan bertentangan UUD 1945 sepanjang dimaknai “masih ada lagi proses pembahasan setelah RUU APBN diundangkan menjadi UU APBN.”
Majelis MK beralasan, kewenangan Banggar DPR membahas kegiatan dan jenis belanja masing kementerian/lembaga pemerintah, termasuk dengan memberi tanda bintang *) terhadap mata anggaran kementerian atau lembaga (K/L) dinilai melampaui kewenangan dan menimbulkan ketidakpastian hukum. Menurut MK pula, praktik penundaan pencairan (pemberian tanda bintang) mata anggaran oleh DPR yang sudah masuk pelaksanaan APBN bukan termasuk fungsi pengawasan DPR. Sebab, kewenangan DPR terbatas hanya pada persetujuan RAPBN dan pengawasan anggaran. Meski begitu, Banggar DPR masih tetap diberi kewenangan membahas dan menyetujui Rancangan UU APBN menjadi UU APBN bersama pemerintah.
Dengan telah diberikannya Putusan MK di atas, maka seharusnya praktik pemberian tanda bintang *) pada mata anggaran kementerian/lembaga/daerah oleh DPR/DPRD tersebut sudah tidak dilakukan lagi. Namun demikian, pada faktanya penulis masih menemukan sejumlah praktik pemberian tanda bintang *) tersebut pasca Putusan MK, bahkan pada contoh yang diberikan Penulis di atas, yakni pemberian tanda bintang *) pada mata anggaran Kominfo oleh DPR tahun 2015 dilakukan pasca Putusan MK. Hal ini jelas menunjukan bahwa DPR/DPRD masih melakukan praktik penyimpangan wewenang atas Putusan MK tersebut.
Pemerintah Juga Menanggung Kerugian
Walaupun pihak penyedia yang paling berat dalam menanggung kerugian, namun dalam praktik pemberian tanda bintang *) pada mata anggaran tersebut, kerugian yang tidak sedikit juga ditanggung oleh pemerintah karena apabila hal tersebut terjadi tentu penyedia akan menempuh jalur hukum, baik dalam bentuk gugatan perdata, TUN atau Permohonan Arbitrase. Dalam hal ini, penulis mendapati bahwa dalam perkara-perkara tersebut di BANI, sebagian besar Majelis Arbitrase mengabulkan tuntutan penyedia atas dihentikannya layanan/kontrak oleh Pemerintah dan Pemerintah dihukum untuk melakukan pembayaran atas prestasi penyedia yang tertunda. Hal ini jelas beban tambahan bagi pemerintah karena harus menanggung biaya perkara yang tidak sedikit, belum lagi jika tuntutan ganti kerugian atau denda pembayaran dikabulkan oleh Majelis Arbitrase. Bahkan bukan tidak mungkin ada gugatan lain dari vendor, subkontraktor atau pihak ketiga untuk menuntut Pemerintah atas tidak dicairkannya anggaran akibat pemberian tanda bintang *) tersebut sekalipun tuntutan tersebut tidak beralasan.
Kesimpulan
Praktik pemberian tanda bintang *) pada mata anggaran Pemerintah yang masih dilakukan DPR/DPRD pasca Putusan MK jelas menunjukan penyimpangan wewenang karena kewenangan DPR/DPRD tersebut telah direduksi oleh Putusan MK. Selain itu, praktik tersebut juga mengakibatkan ketidakpastian hukum dan sudah pasti membawa kerugian bagi penyedia, pemerintah dan pihak ketiga. Terkait hal tersebut, kepada penyedia penulis menyarankan hendaknya isu ini menjadi catatan dalam menyusun budget dan mitigasi risiko apabila hendak mengikuti tender barang/jasa yang diselenggarakan oleh pemerintah.
@2018 Yulwansyah & Partners. All rights reserved
Kantor Hukum Yulwansyah & Partners didukung oleh advokat-advokat yang mempunyai sertifikasi di bidang pengadaan barang dan jasa dan telah berpengalaman untuk mendampingi dan mewakili klien dalam membuat/mereview kontrak-kontrak pengadaan, baik yang dipersiapkan oleh lembaga atau institusi negara maupun badan usaha milik negara (BUMN). Selain itu, kami juga berpengalaman dalam mendampingi/mewakili klien dalam perkara-perkara yang berkenaan dengan perselisihan kontrak-kontrak pengadaan, baik melalui pengadilan negeri maupun forum arbitrase.