Oleh : Aria Dipura, SH., CPL., CPCLE., CLi
Pendahuluan
Dikutip dari situs hukumonline.com, secara umum pengertian ne bis in idem menurut Hukumpedia adalah asas hukum yang melarang terdakwa diadili lebih dari satu kali atas satu perbuatan kalau sudah ada keputusan yang menghukum atau membebaskannya. Asas ne bis in idem ini berlaku secara umum untuk semua ranah hukum.
Dalam hukum pidana nasional di Indonesia, asas ne bis in idem ini dapat kita temui dalam Pasal 76 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) yaitu seseorang tidak boleh dituntut dua kali karena perbuatan yang telah mendapat putusan yang telah berkekuatan hukum tetap. Asas ne bis in idem ini berlaku dalam hal seseorang telah mendapat putusan bebas (vrijspraak), lepas (onstlag van alle rechtsvolging) atau pemidanaan (veroordeling) (lihat Pasal 75 ayat [2] KUHP).
Selain itu, dalam ranah hukum perdata, asas ne bis in idem ini sesuai dengan ketentuan Pasal 1917 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (”KUHPerdata”), apabila putusan yang dijatuhkan pengadilan bersifat positif (menolak untuk mengabulkan), kemudian putusan tersebut memperoleh kekuatan hukum tetap, maka dalam putusan melekat ne bis in idem. Oleh karena itu, terhadap kasus dan pihak yang sama, tidak boleh diajukan untuk kedua kalinya (dikutip dari buku “Hukum Acara Perdata”, M. Yahya Harahap, S.H., hal. 42)
Terkait penjelasan di atas, bagaimana dengan ranah perkara pembatalan putusan arbitrase? Apakah asas ne bis in idem tersebut juga dapat diterapkan pada perkara-perkara pembatalan putusan arbitrase? Ilustrasi yang dapat diberikan adalah sebagai berikut:
- A mengajukan permohonan arbitrase terhadap B
- Terhadap permohonan arbitrase tersebut, lembaga arbitrase menerbitkan putusan yang menghukum B
- B yang tidak terima, kemudian mengajukan permohonan pembatalan putusan arbitrase kepada Pengadilan Negeri
- Pengadilan Negeri membatalkan putusan arbitrase
- A mengajukan permohonan arbitrase ulang melalui lembaga arbitrase
- Terhadap permohonan arbitrase tersebut, lembaga arbitrase menerbitkan putusan yang kembali menghukum B
- Apabila B kembali mengajukan permohonan pembatalan putusan arbitrase tersebut, apakah Pengadilan Negeri dapat menerapkan asas ne bis in idem?
Asas Ne Bis In Idem Dalam Perkara Pembatalan Putusan Arbitrase
Apabila meneliti ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (“UUAAPS”), khususnya dalam Pasal 72 ayat (2), kiranya dapat diketahui bahwa UUAAPS telah mengatur mengenai akibat hukum pasca dibatalkannya putusan arbitrase.
Pasal 72 ayat 2
Apabila permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dikabulkan, Ketua Pengadilan Negeri menentukan lebih lanjut akibat pembatalan seluruhnya atau sebagian putusan arbitrase.
Penjelasan
Ketua Pengadilan Negeri diberi wewenang untuk memeriksa tuntutan pembatalan jika diminta oleh para pihak, dan mengatur akibat dari pembatalan seluruhnya atau sebagian dari putusan arbitrase bersangkutan.
Ketua Pengadilan Negeri dapat memutuskan bahwa setelah diucapkan pembatalan, arbiter yang sama atau arbiter lain akan memeriksa kembali sengketa bersangkutan atau menentukan bahwa suatu sengketa tidak mungkin diselesaikan lagi melalui arbitrase.
Berdasarkan kutipan di atas, khususnya pada kalimat pada alinea kedua Penjelasan Pasal 72 ayat (2) UUAAPS, kiranya dapat dipahami bahwa Pengadilan Negeri yang memutus pembatalan putusan arbitrase menentukan lebih lanjut akibat hukum dari dibatalkannya suatu putusan arbitrase.
Akibat hukum tersebut adalah sebagai berikut :
- Hakim Pengadilan Negeri menentukan bahwa arbiter yang sama atau arbiter lain akan memeriksa kembali sengketa bersangkutan; atau
- Hakim Pengadilan Negeri menentukan bahwa suatu sengketa tidak mungkin diselesaikan lagi melalui arbitrase.
Merujuk kepada kedua akibat hukum di atas maka dapat ditafsirkan bahwa apabila suatu putusan arbitrase dibatalkan di muka Pengadilan Negeri karena terbukti mengandung unsur-unsur sebagaimana diatur dalam Pasal 70 UUAAPS, maka Hakim Pengadilan Negeri dapat menentukan akibat-akibat lebih lanjut yang pada intinya perkara tersebut dapat diadili kembali, baik oleh arbiter yang sama, arbiter lain atau diselesaikan melalui cara lain selain arbitrase. Dengan demikian, dengan “terbukanya kesempatan bagi perkara tersebut untuk diadili kembali”, maka dapat disimpulkan bahwa terhadap perkara yang putusan arbitrasenya telah dibatalkan oleh Pengadilan tidak dapat diterapkan asas ne bis in idem.
Alasan lain bahwa asas ne bis in idem tidak dapat diterapkan dalam perkara pembatalan putusan arbitrase adalah sebagai berikut:
- Apabila suatu putusan arbitrase dibatalkan, demi hukum putusan tersebut dianggap tidak pernah ada. Oleh karena dianggap tidak pernah ada, maka konsekuensi hukumnya terhadap sengketa tersebut dapat dilakukan penyelesaian sengketa kembali melalui lembaga arbitrase.
- Sesuai dengan ketentuan Pasal 70 UUAAPS, dalam perkara pembatalan putusan arbitrase, Majelis Hakim Pengadilan Negeri tidak membahas pokok perkara yang telah diperiksa oleh Majelis Arbitrase, melainkan hanya menilai ada/tidaknya unsur-unsur dalam Pasal 70 UUAAPS tersebut sebagai parameter apakah putusan arbitrase dapat dibatalkan /tidak. Dengan demikian, dengan tidak ada kesamaan obyek perkara antara perkara arbitrase yang diperiksa oleh Majelis Arbitrase dengan perkara pembatalan putusan arbitrase maka unsur ne bis in idem pun tidak terpenuhi.
Kesimpulan
Perkara pembatalan putusan arbitrase merupakan perkara perdata yang bersifat khusus, yang esensinya diatur di dalam undang-undang sendiri (yakni UUAAPS). Dengan keunikan tersebut kiranya dapat dipahami bahwa asas ne bis in idem tidak dapat diterapkan pada perkara pembatalan putusan arbitrase. Hal ini sesuai dengan yang diatur dalam Pasal 72 ayat (2) UUAAPS.
@2018 Yulwansyah & Partners. All rights reserved
Kantor Hukum Yulwansyah & Partners telah berpengalaman untuk mendampingi dan mewakili klien beracara melalui forum arbitrase dalam sengketa berbagai bidang seperti kontruksi, pengadaan, jaminan, sewa guna usaha,serta perkara komersial lainnya. Selain itu, kami juga telah mewakili Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) dalam berbagai perkara di pengadilan negeri, seperti perkara-perkara pembatalan putusan arbitrase, tuntutan ingkar, perbuatan melawan hukum kepada arbiter dan lain sebagainya.