Oleh : Aria Dipura, SH., CPL., CPCLE., CLi
Dalam pengaturan mengenai mekanisme pengadaan barang/jasa pemerintah sebagaimana ditemui pada PerPres No. 16 Tahun 2018, selain dilakukan oleh Penyedia, pelaku pengadaan barang/jasa juga dapat dilakukan secara Swakelola (vide Pasal 91 ayat (1) huruf f). Swakelola berarti cara memperoleh barang/jasa yang dikerjakan sendiri oleh Kementerian/Lembaga/Perangkat Daerah, Kementerian/Lembaga/Perangkat Daerah lain, Organisasi Masyarakat atau Kelompok Masyarakat. Jadi, prinsip dari Swakelola ini adalah self budgeting, self implementing dan self controlling dimana ketiga aspek tersebut dilakukan sendiri oleh Kementerian/Lembaga/Perangkat Daerah, Kementerian/Lembaga/Perangkat Daerah lain, Organisasi Masyarakat atau Kelompok Masyarakat. Ketentuan lebih rinci mengenai Swakelola ini, khususnya mengenai persyaratan serta prosesnya, dapat ditemui lebih lanjut pada Peraturan LKPP No. 8 Tahun 2018 tentang Pedoman Swakelola.
Menurut Peraturan LKPP No. 8 Tahun 2018, Swakelola terdiri atas 4 tipe, yakni :
- Tipe 1, Swakelola yang direncanakan, dilaksanakan dan diawasi oleh Kementerian/Lembaga/Perangkat Daerah penanggung jawab anggaran.
- Tipe 2, Swakelola yang direncanakan dan diawasi oleh Kementerian/Lembaga/Perangkat Daerah penanggung jawab anggaran namun pelaksanaannya dilakukan oleh Kementerian/Lembaga/Perangkat Daerah lain.
- Tipe 3, Swakelola yang direncanakan dan diawasi oleh Kementerian/Lembaga/Perangkat Daerah penanggung jawab anggaran namun pelaksanaannya dilakukan oleh Organisasi Masyarakat.
- Tipe 4, Tipe 3, Swakelola yang direncanakan dan diawasi oleh Kementerian/Lembaga/Perangkat Daerah penanggung jawab anggaran namun pelaksanaannya dilakukan oleh Kelompok Masyarakat.
Sedangkan yang dimaksud Organisansi Masyarakat dan Kelompok Masyarakat menurut Peraturan LKPP No. 8 Tahun 2018 adalah sebagai berikut:
- Organisasi Masyarakat : Organisasi yang didirikan dan dibentuk oleh masyarakat secara sukarela berdasarkan kesamaan aspirasi, kehendak, kebutuhan, kepentingan, kegiatan dan tujuan untuk berpartisipasi dalam pembangunan demi tercapainya tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila.
- Kelompok Masyarakat : Kelompok masyarakat yang mengadakan pengadaan barang/jasa dengan dukungan anggaran belanja dari APBN/APBD.
Mekanisme Swakelola
Apabila meneliti Peraturan LKPP No. 8 Tahun 2018 tersebut, kiranya dapat diketahui bahwa Swakelola merupakan mekanisme pengadaan yang mengisi celah yang tidak disentuh oleh penyedia, misalnya barang/jasa yang pada umumnya tidak diminati oleh pelaku usaha (karena segi nilai, lokasi dan/atau sifatnya) seperti penanaman gebalan rumput, pemeliharaan rambu suar, renovasi rumah tidak layak huni dsb (lihat Lampiran I Peraturan LKPP No. 8 Tahun 2018). Pengadaan lewat Swakelola ini juga bermanfaat untuk kemandirian suatu daerah yang lingkup komunalnya kecil seperti pedesaan, karena dengan adanya Swakelola (khususnya yang dilakukan oleh Perangkat Desa, Organisasi Masyarakat dan Kelompok Masyarakat) maka pada prinsipnya akan memaksimalkan potensi sumberdaya setempat dengan semangat gotong royong, mis.: pada pekerjaan konstruksi sederhana di sebuah desa dimana bahan material dapat dibeli di toko material desa tersebut.
Contoh praktek Swakelola pada pedesaan dapat ditemui pada link sebagai berikut : http://www.berdesa.com/program-swakelola-dana-desa-begini-contohnya/
Namun demikian, Swakelola ini bukan tanpa permasalahan, setidaknya ada beberapa poin yang masih menjadi tanda tanya penulis, antara lain:
- Di dalam Peraturan LKPP No. 8 Tahun 2018 yang berjumlah 17 pasal masih belum diatur tata cara mengenai persyaratan lebih lanjut mengenai pelaku Swakelola dan kaitannya dengan monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.
Misalnya dalam Swakelola tipe 3, di dalam Lampiran 1 Peraturan LKPP No. 8 Tahun 2018 memang disebutkan bahwa apabila terdapat lebih dari 1 Organisasi Masyarakat yang mampu mengerjakan suatu proyek, PA/KPA dapat melakukan proses pemilihan melalui mekanisme sayembara. Frase “dapat” dalam Lampiran 1 Peraturan LKPP No. 8 Tahun 2018 tersebut berarti bukanlah suatu keharusan sehingga dapat diartikan bahwa Kementerian/Lembaga/Perangkat Daerah penanggung jawab anggaran dapat menunjuk langsung berkali-kali Organisasi Masyarakat yang sama untuk melakukan pekerjaan. Hal ini menurut hemat Penulis berpotensi terjadi monopoli/persaingan usaha tidak sehat oleh Organisasi Masyarakat tertentu karena bisa saja suatu Organisasi Masyarakat yang berpengaruh di suatu desa dapat “memaksa” Perangkat Daerah penanggung jawab anggaran untuk terus memberikan proyek kepada mereka, padahal di desa tersebut masih terdapat Organisasi Masyarakat lain yang juga mampu untuk melakukan pekerjaan tersebut. Sayangnya Peraturan LKPP No. 8 Tahun 2018 tidak mengatur lebih lanjut mengenai sanksi apabila hal ini terjadi.
- Apakah pelaksana Swakelola Kementerian/Lembaga/Perangkat Daerah lain, Organisasi Masyarakat dan Kelompok Masyarakat dapat dikenakan PPN?
Apabila meneliti Pasal 4 ayat (1) huruf c Undang-Undang No. 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang No. 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah dapat diketahui bahwa pelaku PPN atas:
- Penyerahan Barang Kena Pajak didalam Daerah Pabean; dan
- Penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean;
Dilakukan oleh Pengusaha.
Artinya, subyek dari pelaku yang dapat dikenakan PPN adalah yang berbentuk “Pengusaha”. Pengusaha berarti orang pribadi atau badan dalam bentuk apapun yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor dan/atau mengekspor barang, melakukan perdagangan, memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar daerah pabean, melakukan usaha jasa termasuk mengekspor jasa atau memanfaatkan jasa dari luar daerah pabean.
Oleh karena Kementerian/Lembaga/Perangkat Daerah lain, Organisasi Masyarakat dan Kelompok Masyarakat tidak memenuhi klasifikasi sebagai pengusaha, maka menurut hemat penulis, ketiga entitas tersebut tidak bisa dikenakan PPN. Namun demikian, definisi ini menjadi menarik diperdebatkan misalnya dalam proses pekerjaan konstruksi sederhana dimana terdapat pembelian material/bahan baku yang notabene pembelian sampai pada nilai tertentu akan dikenakan PPN.
Kesimpulan
Prinsip dari Swakelola yang berupa self budgeting, self implementing dan self controlling dimana ketiga aspek tersebut dilakukan sendiri oleh Kementerian/Lembaga/Perangkat Daerah, Kementerian/Lembaga/Perangkat Daerah lain, Organisasi Masyarakat atau Kelompok Masyarakat tentu merupakan nilai plus untuk memaksimalkan potensi sumberdaya setempat dengan semangat gotong royong, terutama pada lingkup komunal yang kecil seperti pedesaan. Namun demikian, di dalam Peraturan LKPP No. 8 Tahun 2018 kiranya masih terdapat sejumlah catatan untuk diperhatikan khususnya mengenai persyaratan lebih lanjut mengenai pelaku Swakelola dan kaitannya dengan monopoli dan persaingan usaha tidak sehat serta apakah pelaku Swakelola ini dapat dikenakan PPN.
@2018 Yulwansyah & Partners. All rights reserved
Kantor Hukum Yulwansyah & Partners didukung oleh advokat-advokat yang mempunyai sertifikasi di bidang pengadaan barang dan jasa dan telah berpengalaman untuk mendampingi dan mewakili klien dalam membuat/mereview kontrak-kontrak pengadaan, baik yang dipersiapkan oleh lembaga atau institusi negara maupun badan usaha milik negara (BUMN). Selain itu, kami juga berpengalaman dalam mendampingi/mewakili klien dalam perkara-perkara yang berkenaan dengan perselisihan kontrak-kontrak pengadaan, baik melalui pengadilan negeri maupun forum arbitrase.