Oleh : Aria Dipura, SH., CPL., CPCLE., CLi

Aria Dipura

Pendahuluan

Pada tanggal 9 Juli 2009, Pemerintah RI secara resmi telah menerbitkan Undang-Undang No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan (“UU No. 24/2009”) yang bertujuan untuk menegaskan jati diri bangsa Indonesia dan identitas NKRI (vide Alinea Kedua Penjelasan Umum UU No. 24/2009).

Sesuai konteksnya, di dalam UU No.24/2009 tersebut, khususnya pada Pasal 26 – 39 telah diatur mengenai kewajiban penggunaan bahasa Indonesia dalam setiap dokumen, kegiatan seremonial, pemberian informasi, dan sebagainya. Namun demikian, bagi para pelaku bisnis di Indonesia (yakni pihak asing, perusahaan yang mempunyai afiliasi asing atau yang sedang menjalin perikatan dengan pihak asing) pada umumnya memberikan perhatian lebih pada pengaturan Pasal 31 UU No. 24/2009 yang menyatakan bahwa:

(1) Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam nota kesepahaman atau perjanjian yang melibatkan lembaga negara, instansi pemerintah Republik Indonesia, lembaga swasta Indonesia atau perseorangan warga negara Indonesia.

(2) Nota kesepahaman atau perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang melibatkan pihak asing ditulis juga dalam bahasa nasional pihak asing tersebut dan/atau bahasa Inggris.

Merujuk pada ketentuan di atas, frase kata “wajib” yang disematkan pada ketentuan Pasal 31 tersebut menunjukan bahwa setiap perjanjian yang melibatkan lembaga negara, instansi pemerintah Republik Indonesia, lembaga swasta Indonesia atau perseorangan warga negara Indonesia wajib hukumnya untuk memakai bahasa Indonesia. Kewajiban tersebut dapat ditafsirkan pula bahwa “dalam hal perjanjian dibuat secara bilingual maka dalam hal terjadi perbedaan penafsiran, yang digunakan adalah versi yang berbahasa Indonesia”. Artinya, terhadap perjanjian yang melibatkan subyek hukum Indonesia, harus menggunakan bahasa Indonesia.

Ketentuan Pasal 31 tersebut pada praktiknya menimbulkan polemik, khususnya bagi pihak asing atau perusahaan indonesia yang mempunyai afiliasi dengan pihak asing atau perusahaan indonesia yang sedang menjalin bisnis dengan pihak asing. Dalam hal ini, banyak pihak asing yang kurang yakin apabila perjanjian menggunakan bahasa Indonesia atau ditafsirkan menurut bahasa Indonesia, terutama disebabkan karena alasan-alasan sebagai berikut:

  • Pihak asing harus merekrut penerjemah yang bukan hanya menguasai bahasa negara asal – bahasa Indonesia dari sisinya, namun juga penerjemah tersebut harus menguasai konsep/karakteristik bisnis dari perjanjian yang hendak diterjemahkannya. Hal ini berarti ada cost tambahan yang harus dikeluarkan oleh pihak asing tersebut.
  • Dalam praktiknya, seringkali ditemui perbedaan kekayaan kosakata dari bahasa negara asal – bahasa Indonesia yang hendak diterjemahkan dalam perjanjian, hal ini jelas menjadi hambatan bagi penerjemah dari sisi pihak asing tersebut.
  • Dan lain sebagainya.

Implikasi Hukum Bagi Perjanjian yang dibuat dalam bahasa Asing

Sekalipun Pasal 40 UU 24/2009 menyatakan bahwa ketentuan Pasal 31 akan diatur lebih lanjut oleh peraturan pelaksananya, namun dalam praktiknya telah terbit Putusan Mahkamah Agung No. 1572 K/Pdt/2015 dalam perkara antara Nine AM, Ltd vs PT Bangun Karya Pratama Lestari dimana Mahkamah Agung menyatakan bahwa :

loan agreement yang dibuat tidak dalam bahasa Indonesia bertentangan dengan ketentuan Pasal 31 ayat 1 UU Nomor 24/2009 sehingga perjanjian tersebut merupakan perjanjian yang dibuat berdasarkan sebab yang terlarang dan sesuai Pasal 1335 KUHPerdata jo Pasal 1337 KUHPerdata, perjanjian tersebut batal demi hukum.

Dengan demikian, sekalipun putusan tersebut belum diikuti dengan putusan Mahkamah Agung lainnya (berdasarkan penelusuran penulis) sehingga menjadi sebuah yurisprudensi, namun Putusan Mahkamah Agung tersebut telah menjadi preseden dan berpotensi untuk dijadikan dasar bagi pihak yang ingin mencari-cari alasan untuk berperkara di pengadilan. Hal ini jelas menjadi risiko tambahan bagi investor-investor asing yang berbisnis di Indonesia. Bisa saja di kemudian hari partner bisnis lokalnya mengajukan gugatan atau menangkis gugatan dengan merujuk pada Putusan MA tersebut untuk lepas dari kewajiban hukumnya. Dengan adanya putusan yang “batal demi hukum” berarti perjanjian tersebut dianggap tidak ada sejak semula (posisi nol-nol) sehingga sia-sia lah semua proses bisnis yang telah dilakukan selama ini.

Alasan Perjanjian Dibuat Dalam Bahasa Asing dalam Perkara Pembatalan Putusan Arbitrase

Alasan “perjanjian dibuat dalam bahasa asing sehingga melanggar causa halal dalam KUHPerdata” di atas dalam perkara pembatalan putusan arbitrase pada praktiknya benar-benar telah digunakan. Hal ini dapat diketahui pada perkara No. 244/Pdt.G-Arb/2017/PN.Jkt.Sel di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan antara PT Kerui Indonesia melawan Badan Arbitrase Nasional Indonesia dan PT Agung Glory Cargotama. Pada perkara tersebut, PT Kerui Indonesia mengajukan permohonan pembatalan putusan arbitrase dengan dalih bahwa perjanjian yang ditandatanganinya bersama PT Agung Glory Cargotama tidak sah karena dibuat dalam bahasa Inggris. Namun demkian, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dalam putusannya kemudian menolak permohonan pembatalan putusan arbitrase yang diajukan oleh PT Kerui Indonesia dengan alasan tidak memenuhi alasan-alasan pembatalan putusan arbitrase sebagaimana diatur dalam Pasal 70 Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (“UUAAPS”).

Kesimpulan

Adanya  ketentuan dalam Pasal 31 UU No. 24/2009 yang mewajibkan perjanjian yang dibuat dengan subyek hukum indonesia disusun dengan bahasa Indonesia telah menjadi risiko tambahan bagi pelaku usaha asing yang ingin berbisnis dengan pihak Indonesia. Dalam hal ini, selain risiko biaya, teknis dan penafsiran, “keharusan penggunaan bahasa Indonesia dalam perjanjian” tersebut juga menimbulkan risiko hukum di kemudian hari yang mengancam perjanjian tersebut dinyatakan batal demi hukum oleh pengadilan Indonesia.

Namun demikian, apabila di dalam perjanjian para pihak menyepakati penyelesaian sengketa melalui arbitrase dan dalam hal terjadi sengketa Majelis Arbitrase tidak mempermasalahkan “penggunaan bahasa asing dalam perjanjian” tersebut, maka alasan “penggunaan bahasa asing dalam perjanjian” tidak dapat dijadikan alasan untuk membatalkan suatu putusan arbitrase karena tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 70 UUAAPS.

@2018 Yulwansyah & Partners. All rights reserved


Kantor Hukum Yulwansyah & Partners telah berpengalaman untuk mendampingi dan mewakili klien beracara melalui forum arbitrase dalam sengketa berbagai bidang seperti kontruksi, pengadaan, jaminan, sewa guna usaha,serta perkara komersial lainnya. Selain itu, kami juga telah mewakili Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) dalam berbagai perkara di pengadilan negeri, seperti perkara-perkara pembatalan putusan arbitrase, tuntutan ingkar, perbuatan melawan hukum kepada arbiter dan lain sebagainya.

Add Comment

WhatsApp WhatsApp us