Oleh :    Aria Dipura, SH., CPL., CPCLE., CLi

Aria Dipura

Pendahuluan

Daftar Hitam secara prinsip adalah daftar yang dibuat oleh Kementerian/Lembaga/Perangkat Daerah/Institusi Negara(K/L/D/I) yang memuat identitas Penyedia Barang/Jasa (“Penyedia”) yang dikenakan sanksi oleh Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran (“PA/KPA”) berupa larangan mengikuti Pengadaan Barang/Jasa pada K/L/D/I dan/ atau yang dikenakan sanksi oleh Negara/Lembaga Pemberi Pinjaman/Hibah pada kegiatan yang termasuk dalam ruang lingkup Peraturan Presiden tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.

Sehubungan dengan telah diberlakukannya Peraturan Presiden No 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (“Perpres 16/2018”), pengaturan mengenai sanksi Daftar Hitam saat ini telah diperbaharui dan dapat ditemui pada Peraturan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah  Nomor 17 Tahun  2018 Tentang Sanksi Daftar Hitam Dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (“Perka LKPP No. 17/2018”). Perka 17/2018 ini mencabut aturan sebelumnya yang tertuang dalam Perka LKPP Nomor 18 Tahun 2014.

Dalam Pasal 3 Perka LKPP No. 17/2018 tersebut, ruang lingkup perbuatan yang dapat dikenakan sanksi Daftar Hitam adalah sebagai berikut:

  1. peserta pemilihan menyampaikan dokumen atau keterangan palsu/tidak benar dalam Dokumen Pemilihan;
  2. peserta pemilihan bersekongkol dengan peserta lain untuk mengatur harga penawaran;
  3. peserta pemilihan melakukan KKN dalam pemilihan Penyedia;
  4. peserta pemilihan mengundurkan diri dengan alasan yang tidak dapat diterima Pejabat Pengadaan/Pokja Pemilihan/Agen Pengadaan;
  5. peserta pemilihan mengundurkan diri atau tidak menandatangani kontrak katalog;
  6. pemenang Pemilihan yang telah menerima Surat Penunjukan Penyedia Barang Jasa (SPPBJ) mengundurkan diri sebelum penandatanganan Kontrak dengan alasan yang tidak dapat diterima oleh PPK;
  7. Penyedia yang tidak melaksanakan kontrak, tidak menyelesaikan pekerjaan, atau dilakukan pemutusan kontrak secara sepihak oleh PPK yang disebabkan oleh kesalahan Penyedia Barang/Jasa; atau
  8. Penyedia tidak melaksanakan kewajiban dalam masa pemeliharaan sebagaimana mestinya

Akibat Sanksi Daftar Hitam Bagi Penyedia Barang/Jasa

Daftar Hitam pada umumnya merupakan sesuatu yang menjadi momok bagi para Penyedia yang biasa mengikuti pengadaan barang dan jasa pemerintah, baik ketika menjadi peserta pemilihan ataupun ketika perjanjian sudah berlangsung. Apabila Penyedia dimasukan ke dalam Daftar Hitam, maka yang bersangkutan tidak dapat mengikuti proses pengadaan barang dan jasa pemerintah pada K/L/D/I selama 1-2 tahun lamanya, tergantung derajat pelanggaran yang diberikan (vide Pasal 6 Perka LKPP No. 17/2018). Bahkan parahnya lagi, citra Penyedia akan menjadi buruk di mata PA/KPA sehingga dapat menjadi acuan bagi PA/KPA untuk tidak memenangkan Penyedia bersangkutan pada proses pengadaan barang dan jasa pemerintah pada pada K/L/D/I lainnya yang diikuti.

Ketika Perjanjian telah ditandatangani, tidak jarang Penyedia menemui hambatan dalam melakukan Pekerjaan yang mana belum tentu hal tersebut menjadi kesalahan Penyedia Jasa sepenuhnya, mis. adanya masalah lingkungan, gangguan pihak ketiga, mobilisasi peralatan, supplier bermasalah dan lain sebagainya. Ketika hal tersebut terjadi, tidak jarang Pejabat Pembuat Komitmen (“PPK”) menolak berkompromi dan malah memutus Perjanjian yang berujung pada PA/KPA memasukan Penyedia ke dalam Sanksi Daftar Hitam (padahal dalam Pasal 8 – 17 Perka LKPP No. 17/2018 terdapat suatu mekanisme yang harus ditempuh untuk menetapkan sanksi Daftar Hitam). Terkait hal tersebut, maka tidak jarang pula Penyedia Jasa melakukan upaya hukum baik ke pengadilan negeri maupun melalui arbitrase sesuai dengan forum penyelesian sengketa dalam Perjanjian.

Ketika hal tersebut terjadi, maka terdapat permasalahan yang dapat ditarik:

Selain tuntutan wanprestasi dan ganti rugi kepada PPK, apakah Penyedia dapat menuntut agar PA/KPA dihukum agar mengeluarkan Penyedia dari sanksi Daftar Hitam?

Dalam Proses Penyelesaian Melalui Arbitrase

Sehubungan dengan hal di atas, ketentuan Pasal 21 Perka LKPP No. 17/2018 memang menegaskan bahwa “pembatalan Sanksi Daftar Hitam didasarkan atas putusan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap” dan sepanjang penelusuran dan pengalaman beracara Penulis, dalam proses penyelesaian perkara di arbitrase, seringkali ditemui petitum Penyedia yang salah satu tuntutannya adalah agar PPK dihukum untuk mengeluarkan Penyedia Jasa dari sanksi Daftar Hitam. Namun demikian, pada praktiknya Majelis Arbitrase kebanyakan menolak petitum tersebut. Hal ini sebabkan karena:

  • Tindakan PA/KPA yang memasukan Penyedia ke dalam Daftar Hitam merupakan suatu tindakan Tata Usaha Negara (TUN) sehingga hanya peradilan TUN yang berhak memeriksa dan memutusnya.
  • Dimasukannya Penyedia ke dalam Daftar Hitam merupakan suatu tindakan yang dilakukan oleh PA/KPA, yang notabene bukan merupakan pihak yang menandatangani Perjanjian dengan Penyedia.

Dengan kata lain, kebanyakan Majelis Arbitrase menyatakan tidak berwenang untuk memberikan putusan yang memerintahkan PA/KPA agar mengeluarkan Penyedia dari sanksi Daftar Hitam sehingga mau tidak mau disamping mengajukan permohonan arbitrase, Penyedia juga harus menempuh upaya hukum ekstra kepada peradilan TUN untuk mencabut status Daftar Hitam yang melekat pada Penyedia.

Namun demikian, masalah yang timbul adalah berkenaan dengan jangka waktu diajukannya gugatan TUN yang harus diajukan selambat-lambatnya 90 hari sejak keputusan TUN tersebut dikeluarkan (vide PAsal 55 UU No. 5 Tahun 1986 tentang PTUN). Hal ini perlu menjadi catatan bagi Penyedia bahwa penyusunan gugatan TUN tersebut sebaiknya tidak digantungkan kepada Putusan Arbitrase yang juga ditempuh Penyedia, melainkan berjalan beriringan. Penyusunan gugatan TUN haruslah dititikberatkan kepada formalitas penetapan sanksi Daftar Hitam kepada Penyedia, sehingga diharapkan mendapatkan output yang optimal.

Kesimpulan

Ketentuan Pasal 21 Perka LKPP No. 17/2018 memang menegaskan bahwa “pembatalan Sanksi Daftar Hitam didasarkan atas putusan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap”, namun demikian masih terdapat pendapat yang terbelah apakah Majelis Arbitrase dapat memberikan putusan atas pencabutan Sanksi Daftar Hitam tersebut atau tidak. Dalam hal ini menurut hemat Penulis, kiranya Pasal 21 Perka LKPP No. 17/2018 tersebut perlu direvisi guna lebih memperjelas pengadilan mana yang berwenang memberikan putusan tersebut (hanya peradilan TUN atau peradilan arbitrase dapat juga diberikan wewenang). Pemberian wewenang bagi peradilan arbitrase untuk hal tersebut tentu akan berdampak pada efisiensi dan mitigasi biaya yang akan ditanggung oleh Penyedia sehingga Penyedia tidak perlu melakukan upaya hukum dua kali atas diputusnya Perjanjian dan dimasukannya Penyedia ke dalam Daftar Hitam.

@2018 Yulwansyah & Partners. All rights reserved


Kantor Hukum Yulwansyah & Partners didukung oleh advokat-advokat yang mempunyai sertifikasi di bidang pengadaan barang dan jasa dan telah berpengalaman untuk mendampingi dan mewakili klien dalam membuat/mereview kontrak-kontrak pengadaan, baik yang dipersiapkan oleh lembaga atau institusi negara maupun badan usaha milik negara (BUMN). Selain itu, kami juga berpengalaman dalam mendampingi/mewakili klien dalam perkara-perkara yang berkenaan dengan perselisihan kontrak-kontrak pengadaan, baik melalui pengadilan negeri maupun forum arbitrase.

Add Comment

WhatsApp WhatsApp us