Oleh : Aria Dipura, SH, CPL., CPCLE., CLi
Pendahuluan
Kekeliruan prosedur Pengadaan Barang/Jasa (selanjutnya disebut “PBJ”) seringkali menjadi momok bagi pejabat atau kepala daerah karena tidak jarang harus berurusan dengan penegak hukum, bahkan menjadi tindak pidana korupsi. Hal ini tidak heran karena sektor PBJ ini merupakan tergolong “basah” dan rentan penyalahgunaan wewenang.
Berdasarkan berita yang diambil dari situs www.kompas.com, hampir 80 persen kasus yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berasal dari sektor tersebut. Masih segar dalam ingatan kita mengenai kasus korupsi pengadaan e-ktp yang melibatkan mantan ketua DPR, belum lagi kasus pengadaan jasa konstruksi wisma atlet Hambalang yang mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp. 706 miliar serta menyeret beberapa nama politisi, menteri pemuda dan olahraga dan beberapa pejabat pemerintahan serta kasus-kasus lainnya.
Berdasarkan hasil kajian KPK terhadap upaya pencegahan korupsi pada pengadaan barang dan jasa pemerintah, ditemukan data bahwa korupsi PBJ paling banyak terjadi pada 5 (lima) tahapan atau proses. Antara lain: (1) tahap perencanaan anggaran; (2) tahap perencanaan-persiapan PBJ Pemerintah; (3) tahap pelaksanaan PBJ Pemerintah; (4) tahap serah terima dan pembayaran; dan (5) tahap pengawasan dan pertanggungjawaban (Laptah KPK, 2016). Misalnya saja pada penyusunan dokumen kerangka acuan kerja (KAK) pada tahap perencanaan dimana oknum pengadaan dapat memainkan spesifikasi teknis atas barang/jasa yang ingin diselenggarakan dengan cara menaikkan spesifikasi teknis sehingga anggaran menjadi membengkak. Contoh lain adalah dengan mengarahkan spesifikasi teknis pada peserta lelang tertentu sehingga hanya satu peserta lelang yang lolos, serta contoh-contoh modus lainnya.
Mengingat terdapat celah-celah korupsi di dalam PBJ pemerintah di atas, maka urgensi kehadiran seorang advokat yang mempunyai keahlian di bidang PBJ untuk memberikan pendampingan hukum kepada para pemangku kepentingan di bidang PBJ pemerintah ini sudah tidak terelakan lagi. Adanya pendampingan dari advokat PBJ ini diharapkan dapat mereduksi potensi-potensi yang menyebabkan kekeliruan proses PBJ pemerintah sehingga permasalahan hukum di kemudian hari dapat dihindari. Menyusun HPS membutuhkan keahlian tersendiri. Selain harus memahami karakteristik spesifikasi barang/jasa yang akan diadakan, juga harus mengetahui sumber dari barang/jasa tersebut. Harga barang pabrikan tentu saja berbeda dengan harga distributor apalagi harga pasar.
Misalnya saja pada tahap penyusunan Harga Perkiraan Sendiri (“HPS”). Yang paling sering terjadi, entah karena kesengajaan atau karena ketidaktahuan, Pejabat Pembuat Komitmen (“PPK”) menyerahkan perhitungan HPS kepada penyedia barang/jasa atau malah kepada broker/makelar yang melipatgandakan harga tersebut untuk memperoleh keuntungan pribadi. PPK langsung mengambil harga tersebut tanpa melakukan check and recheck lagi. Akibatnya, pada saat pengadaan selesai dan dilakukan pemeriksanaan oleh aparat hukum, ditemukan mark-up harga dan mengakibatkan kerugian negara. Lagi-lagi karena ketidaktahuan dan keinginan kerja cepat dan tidak teliti menjerumuskan PPK ke ranah hukum. Adanya advokat PBJ diharapkan dapat mencegah hal tersebut.
Ahli Hukum Kontrak dalam aturan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah
Keharusan adanya pendampingan seorang Advokat yang mempunyai keahlian di bidang PBJ di dalam proses PBJ pemerintah ini sebenarnya telah diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) No. 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (yang diubah terakhir kali melalui Perpres No. 4 Tahun 2015), yakni pada Pasal 86 ayat (4) yang berbunyi:
Penandatangan Kontrak Pengadaan Barang/Jasa yang komplek dan/atau bernilai di atas Rp 100.000.000.000 (seratus miliar rupiah) dilakukan setelah memperoleh pendapat ahli hukum kontrak.
Dengan ketentuan tersebut, kiranya diketahui bahwa pemerintah menegaskan keniscayaan seorang Advokat yang mempunyai keahlian di bidang PBJ dalam memberikan suatu jasa hukum berupa pendapat hukum atau review terhadap kontrak PBJ yang akan ditandatangani PPK dan Penyedia yang bernilai di atas Rp 100.000.000.000,-. Adanya penegasan peran seorang Advokat PBJ tersebut diharapkan akan mengawal proses PBJ dan Kontrak yang akan ditandatangani PPK dan Penyedia tersebut sesuai dengan koridor hukum yang berlaku.
Dalam bidang pengadaan jasa konstruksi yang pada umumnya mempunyai nilai yang signifikan dan bersifat strategis, spirit ketentuan Pasal 86 ayat (4) Perpres No. 54 Tahun 2010 tersebut juga ditegaskan dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor: 07/Prt/M/2011 tentang Standar Dan Pedoman Pengadaan Pekerjaan Konstruksi dan Jasa Konsultansi (sebagaimana diubah terakhir kali melalui Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor: 31/PRT/M/2015) yakni pada Pasal 7 yang menyatakan bahwa untuk pekerjaan konstruksi dan jasa konsultansi yang bernilai di atas 100 milyar dan/atau bersifat kompleks maka harus didahului dengan produk legal opinion dari ahli hukum kontrak. Selengkapnya berbunyi sebagai berikut :
Kontrak untuk pekerjaan konstruksi dan jasa konsultansi yang bernilai di atas Rp 100.000.000.000 (seratus milyar rupiah) dan/atau yang bersifat kompleks sebelum di tandatangani oleh para pihak, terlebih dahulu harus memperoleh pendapat Ahli Hukum Kontrak.
Saat ini peraturan di atas telah diubah dengan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor: 07/Prt/M/2019 tentang Standar dan Pedoman Pengadaan Jasa Konstruksi Melalui Penyedia. Namun demikian pada Peraturan Menteri tahun 2019 tersebut, khususnya pada Pasal 94 ayat (1) tetap ditegaskan pentingnya peran Ahli Hukum Kontrak di dalam pengadaan jasa konstruksi yang bersifat kompleks, sebagaimana dikutip berikut ini:
Penandatanganan Kontrak Jasa Konstruksi yang kompleks dilakukan setelah memperoleh pendapat ahli Kontrak Kerja Konstruksi.
Kembali ke Perpres tentang pengadaan barang dan jasa di atas, sebagaimana diketahui bahwa pada tanggal 22 Maret 2016, pemerintah Indonesia telah mencabut Peraturan Presiden (Perpres) No. 54 Tahun 2010 dengan Perpres 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah. Dengan diperbaharuinya Perpres PBJ tersebut pemerintah berharap dapat meningkatkan efisiensi dan menyempurnakan proses PBJ sebagaimana diatur dalam Perpres sebelumnya.
Namun demikian, apabila meneliti klausula-klausula dalam Perpres 16 Tahun 2018, ternyata ketentuan dalam Pasal 86 ayat (4) Perpres No. 54 Tahun 2010 ternyata tidak ditemui lagi, dengan kata lain pemerintah mencabut keharusan adanya pendampingan seorang Advokat yang mempunyai keahlian di bidang PBJ di dalam proses PBJ pemerintah. Hal ini jelas sangat disayangkan.
Penutup
Sekalipun dijumpai pada Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor: 07/Prt/M/2019, penulis tetap memandang bahwa payung hukum yang lebih tinggi mengenai keharusan pendampingan seorang Advokat yang mempunyai keahlian di bidang PBJ di dalam proses PBJ pemerintah jelas tidak terelakan dan pencabutan Pasal 86 ayat (4) Perpres No. 54 Tahun 2010 dalam Perpres 16 Tahun 2018 merupakan sebuah langkah mundur. Betapa tidak, di dalam Perpres 16 Tahun 2018 tersebut tidak ada suatu payung hukum mengenai pendampingan seorang Advokat yang mempunyai keahlian di bidang PBJ di dalam proses PBJ pemerintah sehingga potensi-potensi pelanggaran PBJ pemerintah menjadi lebih besar dibandingkan sebelumnya. Selain itu, Perpres PBJ tentu mempunyai lingkup yang lebih besar dibandingkan dengan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor: 07/Prt/M/2019. Hal ini disebabkan karena Peraturan Menteri Pekerjaan Umum tersebut hanya berbicara mengenai lingkup pekerjaan konstruksi dan tidak menyentuh aspek PBJ lainnya di luar itu. Padahal aspek PBJ lainnya juga tidak kalah penting, rentan dan perlu perhatian dari stakeholder terkait. Kehadiran Advokat PBJ tentu akan mencegah atau setidak-tidaknya meminimalisir risiko penyalahgunaan PBJ tersebut.
@2019 Yulwansyah & Partners. All rights reserved
Kantor Hukum Yulwansyah & Partners didukung oleh advokat-advokat yang mempunyai sertifikasi di bidang pengadaan barang dan jasa dan telah berpengalaman untuk mendampingi dan mewakili klien dalam membuat/mereview kontrak-kontrak pengadaan, baik yang dipersiapkan oleh lembaga atau institusi negara maupun badan usaha milik negara (BUMN). Selain itu, kami juga berpengalaman dalam mendampingi/mewakili klien dalam perkara-perkara yang berkenaan dengan perselisihan kontra pengadaan, baik melalui pengadilan negeri maupun forum arbitrase.
1 Comment
taufikyahya
Perpes 18 Tahun 2018 dibuat ringkas dengan mengeluarkan aturan-aturan yang kiranya dapat dilimpahkan ke lembaga-lembaga lainnya. Termasuk Ketentuan tentang pendampingan/pendapat ahli hukum kontrak. Ketentuan tidak dihapus namun dibunyikan dalam Peraturan Lembaga (Perlem|) LKPP No. 9 Tentang PEDOMAN PELAKSANAAN PENGADAAN BARANG/JASA MELALUI PENYEDIA sebagai aturan reknis pelaksanaan Perpres 18 Tahun 2010. Pada Angka 7.2.1. tentabg Persiapan Penandatanganan Kontrak.dinyatakan bahwa Penandatanganan Kontrak Pengadaan Barang/Jasa yang kompleks dilakukan setelah memperoleh pendapat ahli hukum Kontrak. Kontrak PBJ yang kompleks barangkali termasuk PBJ dengan nilai di atas 100 Milyar. Mohon maaf barangkali saya salah menyimpulkan. Terimakasih.